Monday, May 27, 2013

Usia Bayi Hanya Seminggu, Marasai dilarang Hamil Lagi


                                          ( Bayi Marasai meninggal di usia seminggu )


Nyeri bekas luka operasi persalinan masih dirasakan Marasai, 27, warga Sangir Solok Selatan (Solsel). Namun, kepedihan itu terasa semakin sakit, setelah putra pertamanya, Anugrah M Djamil, yang berusia tujuh hari itu meninggal dunia, kemarin (9/1) pagi.  

”SAAT pertama melahirkan, saya sudah pesimis dengan kondisi anak saya. Dengan hanya berat badan 750 gram dan panjang 34 centimeter, serta umur kandungan sangat muda, kata dokter sulit bisa bertahan hidup,” tutur Suradi, 49, suami Ires —panggilan Marasai, saat ditemui Padang Ekspres (Riau Pos Grup, RPG) di RSUP M Djamil, kemarin.

Meski hanya berusia seminggu, Suradi tetap bangga pernah dianugerahi anak. “Kami sangat senang atas karunia Allah menitipkan seorang anak, meski hanya sebentar. Kami hanya bisa pasrah, mungkin Allah masih berkehendak lain,” imbuhnya.

Marasai sendiri belum mengetahui kepergian anak pertamanya itu. “Saya belum berani mengatakan pada Adek (panggilan akrab Marasai). Saya takut nanti dia trauma, karena belum pernah melihat anaknya sejak melahirkan,” katanya.

Kondisi Marasai yang mengidap kerapuhan tulang (osteogenesis imperfecta/OI) dengan tinggi badan hanya 97 cm, kini mulai membaik.

Sebelumnya, dia sempat mengeluhkan nyeri di perut dan perih di bekas luka persalinan. “Keluhan itu sudah berkurang, begitu juga bekas lukanya sudah mulai mengering,” ungkap Suradi.

Sebelum Anugrah M Djamil meninggal, Suradi mengaku sudah memiliki firasat buruk. “Ketika menjemput darah ke Palang Merah Indonesia (PMI) sekitar pukul 03.00 kemarin dini hari, biasanya cukup menekan satu kali bel resepsionis, entah kenapa, pagi itu petugas PMI terlambat mengambilkannya. Saya lalu memiliki firasat buruk pada anak saya,” ungkapnya.

Kondisi Anugrah M Djamil pascalahir, diakui Suradi, setiap hari terus memburuk. “Organ tubuh anak saya belum bisa memberikan respons, karena kata dokter keadaan organ tubuhnya masih terlalu muda,” imbuhnya.

Untuk membantu pernapasan, Anugrah M Djamil masih bergantung kepada bantuan alat pernapasan dari tabung inkubator. “Sejak lahir anak saya terus berada dalam tabung inkubator, sampai dia menghembuskan napas terakhir,” ujar Suradi.

Pasangan suami-istri itu menikah 7,5 bulan lalu, tepatnya 8 Juni 2012. Marasai melahirkan anaknya secara prematur pada usia kandungan 24 minggu (6 bulan). Akibatnya, sang anak harus mendapatkan perawatan khusus.

Selama menjalani pengobatan di RSUP M Djamil, keseluruhan biaya ditanggung pihak rumah sakit. Sedangkan pemakaman jasad Anugrah M Djamil, pihak keluarga menyerahkan penyelenggaraan pemakaman kepada pihak RSUP M Djamil.

Sudah Maksimal

Tim dokter RSUP M Djamil mengaku sudah berbuat maksimal menyelamatkan nyawa anak Marasai. “Berbagai upaya kita lakukan untuk terus meningkatkan kondisi kesehatan Anugrah M Djamil. Namun setiap hari, kondisi kesehatannya terus menurun dan semakin parah. Hal ini disebabkan kondisi organnya belum matang terutama bagian paru-paru, otak dan pencernaan,” ujar dr Eni Yantri SpA, dokter khusus yang menangani Anugrah M Djamil.

Pertolongan paling utama dilakukan pada Anugrah M Djamil, berupaya membuatnya bisa tetap bertahan hidup. “Setelah itu, barulah dilakukan penanganan lainnya berupa intervensi lebih awal pencegahan kerapuhan tulang seperti dialami ibunya itu,” papar Eny.

Kondisi terakhir Anugrah M Djamil, menurut Eny, mengalami penurunan HB darah dan trombosit, serta gangguan pada ginjal. “Kesehatan Anugrah M Djamil mengalami komplikasi ditambah kurang matangnya organ, sehingga sulit bertahan hidup,” terangnya.

Kendati Anugrah M Djamil tidak bisa diselamatkan, namun tim dokter RSUP M Djamil tetap akan melakukan penanganan khusus terhadap penyakit Marasai. “Kita akan terus melakukan penanganan khusus terhadap Marasai, terutama soal penyakit yang diidapnya,” kata dr Dovy Djanas SpOG, kemarin (9/1) kepada wartawan di RSUP M Djamil.

Penyakit diderita Marasai, menurutnya, tidak bisa disembuhkan. Namun, hanya bisa diperlambat dengan pemberian asupan gizi. “Penyakit ini tidak bisa disembuhkan, namun penyakit bisa ditangani dalam proses memperlambat perapuhan tulangnya,” ulasnya.

Setelah melahirkan, dokter berencana memasang alat steril pada Marasai agar tidak hamil. “Kita tidak merekomendasikan Marasai untuk hamil kembali, karena kondisi fisik dan kesehatannya tidak memungkinkan untuk dapat melahirkan,” ungkap­nya.

Pasangan suami istri ini berencana menetap di Padang. “Setelah melahirkan, Adek meminta saya mencari tempat tinggal di Padang. Dia ingin melupakan masa lalunya hidup pahit di Sangir,” terang Suradi.

Untuk mengabulkan permintaan istri tercintanya itu, Suradi sudah mencoba menghubungi beberapa temannya mencari pekerjaan baru di Padang. “Jika dapat pekerjaan sebelum Marasai keluar dari RSUP M Djamil, kami langsung menetap di Padang. Kami ingin bahagia hidup di sini,” tutur Suradi yang bekerja sebagai penyadap karet di kebun orang di Sangir.

Selama 27 tahun Marasai hanya terbaring di tempat tidur. Ya, hanya mengandalkan belas kasihan orang. Setiap waktu, bibirnya tidak pernah kering untuk berdoa pada Tuhan, agar diberi pendamping hidup agar bisa merawatnya. 

Doanya pun terkabulkan. Dia ingat betul ketika tiba-tiba handphonenya berdering. Begitu diangkat, dia mendengar suara laki-laki. Dari situlah, hubungan Marasai dengan suaminya, Suradi, terjalin. “Tanggal 29 Mei 2012 kami ketemu, dan 8 Juni kami menikah,” ujar Marasai pekan lalu. 

Pasien OI hamil dan melahirkan adalah kasus pertama terjadi di Indonesia. (Fadhly Yusman/padeks online/rpg)


Sumber berita : Riau Today

No comments:

Post a Comment