( Bayi Marasai meninggal di usia seminggu )
Nyeri bekas luka operasi persalinan masih dirasakan
Marasai, 27, warga Sangir Solok Selatan (Solsel). Namun, kepedihan itu terasa
semakin sakit, setelah putra pertamanya, Anugrah M Djamil, yang berusia tujuh
hari itu meninggal dunia, kemarin (9/1) pagi.
”SAAT pertama
melahirkan, saya sudah pesimis dengan kondisi anak saya. Dengan hanya berat
badan 750 gram dan panjang 34 centimeter, serta umur kandungan sangat muda, kata
dokter sulit bisa bertahan hidup,” tutur Suradi, 49, suami Ires —panggilan
Marasai, saat ditemui Padang Ekspres (Riau Pos Grup, RPG) di RSUP M Djamil,
kemarin.
Meski hanya berusia seminggu, Suradi tetap bangga pernah
dianugerahi anak. “Kami sangat senang atas karunia Allah menitipkan seorang
anak, meski hanya sebentar. Kami hanya bisa pasrah, mungkin Allah masih
berkehendak lain,” imbuhnya.
Marasai sendiri belum mengetahui kepergian anak
pertamanya itu. “Saya belum berani mengatakan pada Adek (panggilan akrab
Marasai). Saya takut nanti dia trauma, karena belum pernah melihat anaknya
sejak melahirkan,” katanya.
Kondisi Marasai yang mengidap kerapuhan tulang
(osteogenesis imperfecta/OI) dengan tinggi badan hanya 97 cm, kini mulai
membaik.
Sebelumnya, dia sempat mengeluhkan nyeri di perut dan
perih di bekas luka persalinan. “Keluhan itu sudah berkurang, begitu juga bekas
lukanya sudah mulai mengering,” ungkap Suradi.
Sebelum Anugrah M Djamil meninggal, Suradi mengaku sudah
memiliki firasat buruk. “Ketika menjemput darah ke Palang Merah Indonesia (PMI)
sekitar pukul 03.00 kemarin dini hari, biasanya cukup menekan satu kali bel
resepsionis, entah kenapa, pagi itu petugas PMI terlambat mengambilkannya. Saya
lalu memiliki firasat buruk pada anak saya,” ungkapnya.
Kondisi Anugrah M Djamil pascalahir, diakui Suradi,
setiap hari terus memburuk. “Organ tubuh anak saya belum bisa memberikan
respons, karena kata dokter keadaan organ tubuhnya masih terlalu muda,”
imbuhnya.
Untuk membantu pernapasan, Anugrah M Djamil masih
bergantung kepada bantuan alat pernapasan dari tabung inkubator. “Sejak lahir
anak saya terus berada dalam tabung inkubator, sampai dia menghembuskan napas
terakhir,” ujar Suradi.
Pasangan suami-istri itu menikah 7,5 bulan lalu, tepatnya
8 Juni 2012. Marasai melahirkan anaknya secara prematur pada usia kandungan 24
minggu (6 bulan). Akibatnya, sang anak harus mendapatkan perawatan khusus.
Selama menjalani pengobatan di RSUP M Djamil, keseluruhan
biaya ditanggung pihak rumah sakit. Sedangkan pemakaman jasad Anugrah M Djamil,
pihak keluarga menyerahkan penyelenggaraan pemakaman kepada pihak RSUP M
Djamil.
Sudah Maksimal
Tim dokter RSUP M Djamil mengaku sudah berbuat maksimal
menyelamatkan nyawa anak Marasai. “Berbagai upaya kita lakukan untuk terus
meningkatkan kondisi kesehatan Anugrah M Djamil. Namun setiap hari, kondisi
kesehatannya terus menurun dan semakin parah. Hal ini disebabkan kondisi
organnya belum matang terutama bagian paru-paru, otak dan pencernaan,” ujar dr
Eni Yantri SpA, dokter khusus yang menangani Anugrah M Djamil.
Pertolongan paling utama dilakukan pada Anugrah M Djamil,
berupaya membuatnya bisa tetap bertahan hidup. “Setelah itu, barulah dilakukan
penanganan lainnya berupa intervensi lebih awal pencegahan kerapuhan tulang
seperti dialami ibunya itu,” papar Eny.
Kondisi terakhir Anugrah M Djamil, menurut Eny, mengalami
penurunan HB darah dan trombosit, serta gangguan pada ginjal. “Kesehatan
Anugrah M Djamil mengalami komplikasi ditambah kurang matangnya organ, sehingga
sulit bertahan hidup,” terangnya.
Kendati Anugrah M Djamil tidak bisa diselamatkan, namun
tim dokter RSUP M Djamil tetap akan melakukan penanganan khusus terhadap
penyakit Marasai. “Kita akan terus melakukan penanganan khusus terhadap
Marasai, terutama soal penyakit yang diidapnya,” kata dr Dovy Djanas SpOG,
kemarin (9/1) kepada wartawan di RSUP M Djamil.
Penyakit diderita Marasai, menurutnya, tidak bisa
disembuhkan. Namun, hanya bisa diperlambat dengan pemberian asupan gizi.
“Penyakit ini tidak bisa disembuhkan, namun penyakit bisa ditangani dalam
proses memperlambat perapuhan tulangnya,” ulasnya.
Setelah melahirkan, dokter berencana memasang alat steril
pada Marasai agar tidak hamil. “Kita tidak merekomendasikan Marasai untuk hamil
kembali, karena kondisi fisik dan kesehatannya tidak memungkinkan untuk dapat
melahirkan,” ungkapnya.
Pasangan suami istri ini berencana menetap di Padang.
“Setelah melahirkan, Adek meminta saya mencari tempat tinggal di Padang. Dia
ingin melupakan masa lalunya hidup pahit di Sangir,” terang Suradi.
Untuk mengabulkan permintaan istri tercintanya itu,
Suradi sudah mencoba menghubungi beberapa temannya mencari pekerjaan baru di
Padang. “Jika dapat pekerjaan sebelum Marasai keluar dari RSUP M Djamil, kami
langsung menetap di Padang. Kami ingin bahagia hidup di sini,” tutur Suradi
yang bekerja sebagai penyadap karet di kebun orang di Sangir.
Selama 27 tahun Marasai hanya terbaring di tempat tidur.
Ya, hanya mengandalkan belas kasihan orang. Setiap waktu, bibirnya tidak pernah
kering untuk berdoa pada Tuhan, agar diberi pendamping hidup agar bisa
merawatnya.
Doanya pun terkabulkan. Dia ingat betul ketika tiba-tiba
handphonenya berdering. Begitu diangkat, dia mendengar suara laki-laki. Dari
situlah, hubungan Marasai dengan suaminya, Suradi, terjalin. “Tanggal 29 Mei
2012 kami ketemu, dan 8 Juni kami menikah,” ujar Marasai pekan lalu.
Pasien OI hamil dan melahirkan adalah kasus pertama
terjadi di Indonesia. (Fadhly Yusman/padeks online/rpg)
Sumber berita : Riau Today
No comments:
Post a Comment