Monday, June 3, 2013

Berdamai dengan Osteogenesis Imperfecta ( Novi Ramalia )



      Kali ini saya hadir dengan sebuah kisah hidup yang luar biasa dari salah satu penderita OI. Seorang wanita luar biasa yang pantang menyerah, penuh talenta, dan tentunya penuh dengan semangat dalam meraih masa depan yang lebih baik meski terlahir dengan 'label' Osteogeneis Imperrfecta ! 

Awal perkenalan kami pun karena sebuah artikel tentang OI yang kemarin saya buat ( Aku & Osteogenesis Imperfecta ! ) dan dari sana kami menjadi semakin dekat. Saya begitu tersentuh saat membaca kisah hidup seorang Novi Ramalia, betapa dia begitu tabah dalam menghadapi segala 'dampak' dari OI didalam kehidupannya dan membuktikan kepada semua orang, bahwa terlahir dengan sebuah kekurangan tidak harus membuat kita menjadi lemah.

Sungguh suatu kebanggaan bagi saya bisa mengenal seorang Novi Ramalia , pribadinya yang ramah dan penuh semangat telah membawa dampak yang luar biasa didalam hidup saya, dimana semangat dan perjuangannya juga telah menguatkan saya dalam menghadapi OI. 

Dan semoga kisah hidup dan perjuangan seorang Novi Ramalia juga dapat menguatkan para penderita OI diluar sana :) 





( Novi Ramalia, wanita penderita OI yang luar biasa ! )



      Osteogenesis Imperfecta (OI) telah mematahkan tulang-tulang Saya, tapi dia tidak mampu mematahkan hati Saya untuk terus bertahan.
Kini hampir tiga puluh dua tahun Saya hidup dengan OI. Tidak mudah, namun semua masa bisa terlewati.
Saya terlahir sebagai anak ketiga. Seperti orang tua pada umumnya, Ayah dan Ibu menyambut Saya bahagia ketika mengetahui kondisi bayinya terlahir normal, bertubuh lengkap dan menangis keras, pertanda bayi sehat.

Dalam masa pertumbuhan tak ada yang janggal terjadi pada diri Saya. Seperti bayi-bayi lainnya, Saya bisa merangkak, berbicara bahkan berjalan tanpa ada keterlambatan.

Di usia Saya yang ketika itu sekitar satu setengah tahun, Saya menggigit pengasuh yang kemudian karena terkejut, menepis dan mengakibatkan patah tulang pertama pada tangan Saya.

Belum ada kecurigaan apapun terhadap diri Saya, menurut Dokter tulang bayi yang masih ‘lembut’ akan cepat menyambung dan normal kembali. Itu benar, tidak terlalu lama tulang tangan Saya telah tersambung.
Selang beberapa bulan setelah kejadian itu, lagi-lagi Saya mengalami patah tulang, namun kali ini tanpa penyebab yang wajar. Orang tua Saya merasa ada keanehan pada diri Saya dan mulai berkonsultasi pada Dokter. Setelah diselidiki, Dokter memperkirakan Saya mengidap rapuh tulang . penjelasan Dokter, rapuh tulang bisa terjadi karena kelebihan atau kekurangan kalk. Setelah diurut kebelakang, memang ketika Saya ada dalam kandungan, Ibu Saya sempat sakit dan mendapat cairan infus kalk. Bisa jadi yang terjadi pada Saya adalah kelebihan kalk.

Setelah itu, patah tulang seolah menjadi mimpi buruk bagi kedua orang tua Saya. Mereka punya kecemasan yang berlebih ketika Saya tidak ada di sekitar mereka. Mereka ketakutan ketika mendengar tangisan seorang anak yang mungkin saja itu Saya. Sementara, Saya ... yang belum tahu cara ‘menjaga diri’ selalu saja ingin tetap bermain seperti anak-anak lainnya.
Tumbuh bersama OI tidak membuat Saya menjadi terasing. Saat Sekolah Dasar (SD) Ibu Saya (yang kala itu telah menjadi single Mother, karena Ayah Saya meninggal) memilihkan SD yang dekat dengan tempat tinggal Kami, dengan maksud agar bila terjadi sesuatu pada Saya akan segera bisa ditangani. Tak jarang dari rumah pun Ibu Saya sudah bisa mendengar dan menebak bila ada suara tangisan pastilah itu Saya yang tengah menahan sakit. Biasanya teman-teman dan Guru mengantarkan Saya kerumah atau Ibu Saya yang datang ke sekolah. Benar saja, kadang Saya patah tangan, kadang patah kaki. Kadang karena Saya berlari, kadang karena terdorong teman.

Kalau sudah begitu, Ibu Saya dengan sabar menemani Saya. Mengipasi tulang yang terbungkus perban yang menurut Saya gatal, panas, bau.  Meminum obat penghilang rasa sakit juga sedikit membantu. Seminggu pertama adalah masa yang berat.

Beberapa patahan pada tubuh Saya, tidak membuat Saya menjadi anak yang pasif. Tetap saja Saya bermain petak umpet, ikut naik ke atas bukit untuk menangkap capung bahkan Saya ikut menari bersama teman-teman untuk acara perpisahan sekolah. Ketika Saya naik ke atas panggung, tidak ada tepuk tangan, yang ada hanya wajah-wajah tegang para Guru. Mereka mengkhawatirkan Saya. Saat musik berhenti, tarian Saya selesai mereka bertepuk tangan meriah, entah karena tarian Kami yang indah atau karena perasaan lega karena tidak terjadi hal yang buruk terhadap Saya.

Setamat dari SD, Saya agak susah mencari Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk melanjutkan pendidikan. Ada beberapa sekolah negeri yang menolak Saya sebagai muridnya meski nilai Saya mencukupi. Mereka beralasan kondisi fisik Saya akan menyulitkan untuk menerima pelajaran dari mereka. Akhirnya, setelah agak telat Saya bisa diterima sebagai murid di salah satu sekolah swasta.

Patah tulang masih terus-terusan terjadi pada Saya. Sampai suatu hari, Kami sempat berkunjung ke Jakarta untuk melakukan pengobatan ke Rumah Sakit yang ada di daerah Pasar Minggu.

Disana tidak banyak yang dilakukan kecuali, tes urine, pengambilan darah dan teraphy. Dalam wawancaranya, Dokter menanyakan apakah Kakak atau Adik Saya ada yang mengalami hal yang sama, dan beruntungnya tidak. Saat itu, Saya berusia dua belas atau tiga belas tahunan, Dokter mengatakan pada Ibu Saya, bahwa inipun sudah menjadi mukjizat. Karena secara teori kedokteran seharusnya Saya hanya bisa hidup sekitar sepuluh tahunan. Pada waktu yang sama, Saya sempat menjadi contoh para Dokter untuk melakukan penelitian terhadap OI.

Karena ketika itu Kami masih berdomisili di Palembang, sangatlah tidak mungkin untuk terus-terusan melakukan pengobatan di Jakarta. Semua mengalir begitu saja. Hingga, suatu malam ... Saya berusaha membawa guling dengan menyeret yang ternyata talinya terkait di pergelangan kaki Saya. Jatuh terlungkup ! itu yang terjadi. Tiga tulang Saya patah dalam waktu bersamaan. Lengan kanan, tangan kiri dan lutut sebelah kiri. Seperti biasa, gips dan perban membungkus bagian-bagian tubuh Saya.

Tak ada prasangka apapun, Saya pikir setelah sebulan Saya pastilah akan bisa berjalan kembali. Namun prediksi Saya salah. Setelah seluruh gips dibuka, lutut Saya tidak lagi bisa diluruskan dan tangan-tangan Saya tidak bisa menyentuh muka, kepala, telinga.

Mungkin itu adalah masa terberat Saya untuk berdamai dengan OI. Saya prustasi ketika Saya tidak bisa menyuapkan makanan dengan tangan Saya sendiri. Saya kesal ketika Saya harus menyulitkan orang lain untuk membantu Saya ke toilet. Saya lelah ketika Saya terus-terusan meminta bantuan untuk sekedar menggaruk kepala saya yang gatal.

Yang membuat Saya tetap bersemangat adalah bila mengingat sekolah Saya, bagaimanapun Saya harus cepat bisa pulih agar bisa kembali bersekolah.
Namun waktu begitu cepat. Belum lagi Saya sembuh benar, masa sekolah sudah dimulai. Sangat tidak dimungkinkan bagi Saya untuk meneruskan sekolah. Mengingat akomodasi dan biaya yang pastilah akan sangat mahal bagi Kami.
Situasi itu semakin membuat Saya merasa terpuruk. Kala melihat siswa siswi berpakaian seragam sekolah, dalam hati Saya berteriak sejadi-jadinya. Jantung Saya berdetak kencang. Mata Saya memanas menahan airmata.

Banyak malam yang Saya lewati dengan airmata. Disaat seluruh keluarga telah terlelap, itulah saat yang tepat bagi Saya untuk menangis. Saya berada di usia remaja yang kata orang pada usia itu ‘hidup terasa begitu indah’, namun Saya kehilangan momen itu. Banyak waktu yang Saya habiskan untuk mempertanyakan ‘kehebatan’ Tuhan. Saya berharap agar Tuhan membuat Saya mati.
Nampaknya Tuhan mendengar ‘pengharapan’ Saya. Tidak lama dari ulang tahun Saya yang ke tujuh belas, sekali lagi Saya mengalami kesakitan, namun kali ini bukan patah tulang. Melainkan sesak nafas yang diperkirakan akibat paru-paru terpenuhi oleh slem.

Saya berada diantara kesadaran dan tidak. Bernapas dengan tabung oksigen sangatlah tidak nyaman. Saya sudah tidak tahu lagi bagian mana dari tubuh Saya yang terasa sakit. sekali waktu Dokter berusaha untuk me-rontgen bagian dada Saya, namun itu tidak berhasil. Gambar yang didapat blur. Seperti dalam sinetron Saya di bawa kembali keruang perawatan dengan para perawat yang berlarian panik. Saya tidak bisa bernafas.

Tidak ada tindakan dari Dokter, kecuali pemberian obat batuk dan oksigen. Karena memang hanya itu yang bisa dilakukan, selebihnya adalah pasrah.
Saya pun telah pasrah, Saya biarkan kehendak Tuhan yang terjadi. Rasa sakit, lelah, dan tidak berkepastian sangatlah menyiksa. Saya memohon ampun pada Tuhan karena telah terlalu berani untuk mati. Saya janjikan pada Tuhan bila masih ada kesempatan hidup bagi Saya, Saya tidak lagi menuntut Tuhan untuk ‘mematikan’ Saya.

Keajaiban itu terjadi, esok harinya saat tubuh Saya akan dibersihkan, selang oksigen bisa dilepas dengan waktu yang agak lama tanpa Saya harus tersengal-sengal. Pelan-pelan Saya benar-benar bisa lepas dari oksigen dan pulang kembali kerumah.

Waktu tidak berjalan mundur, dia terus membawa Saya dalam usia dewasa. Pemikiran Saya pun berubah. Mental Saya tak lagi lemah. Tidak ada lagi tangisan untuk masa lalu. Tidak lagi merasa sedih ketika ada orang yang memandang ‘aneh’. Lalu bisa menjawab dengan senyuman ketika ada yang bertanya “kenapa tangannya bengkok ? kenapa nggak bisa jalan ? kenapa badannya kecil ?” . Saya bilang “karena waktu kecil Saya terlalu nakal ...” dan Saya tetap tersenyum.

Mengisi waktu adalah cara jitu untuk tidak berlarut-larut ada dalam penyesalan. Saya tidak punya banyak ilmu, tidak juga berprestasi namun setidaknya Saya bisa berbuat sesuatu untuk menyenangkan orang lain yang akan memberikan efek kebahagiaan bagi Saya.
Saya tidak pernah kursus memasang payet, tapi ala bisa karena biasa. Sejak tahun dua ribu-an bila ada keluarga yang akan menikah biasanya Saya akan menjadi ‘seksi sibuk’ pemasangan payet. Ada beberapa karya Saya.
         

                                            ( Bustier dengan swaroski dan payet ronce. )                                  



                                                           (  Kebaya full payet. )

Selain mengisi waktu dengan 'bermain-main' benang, jarum, batu-batuan, payet warna-warni, Saya juga sangat mencintai menulis.  Ada beberapa tulisan Saya yang ‘menyempil’ dalam sebuah buku.
                                     


                                     ( Buku-buku yang tersempil beberapa baris tulisan Saya. )


Itu adalah empat buku dari beberapa buku yang Saya ‘kotori’ halamannya dengan tulisan Saya yang masih jauh dari sempurna. Namun inilah cita-cita besar Saya, kini Saya masih berusaha mewujudkannya, termasuk menulis skenario yang kini tengah Saya gandrungi untuk Saya pelajari. Saya sadar betul kesempatan untuk ‘sukses’ bagi orang-orang seperti Saya sangatlah sedikit, namun Saya ingin menjadi bagian yang sedikit itu.

Kini telah sekitar tujuh belas tahun Saya bergerak dengan kursi roda. Perlahan tangan kanan Saya yang tadinya sudah tidak bisa digunakan sesuai fungsinya, sekarang bisa kembali ‘berfungsi’. Saya sudah bisa makan tanpa disuapi, bisa memegang gelas dan meminumkan sendiri, mampu keramas meski dengan satu tangan , bahkan belakangan Saya bisa mondar-mandir sendiri ke toilet. Ini berkah !

Saya paham, Saya bukanlah orang yang paling menderita masih banyak di bagian sana manusia-manusia yang lebih susah, lebih sakit, lebih tersiksa. Dari itu selayaknya Saya tak perlu mengeluh dan Saya pun tidak ingin menjadi manusia yang tidak bersyukur. Bersyukur adalah cara Saya untuk menjadi bahagia.

Dan pensyukuran Saya yang paling pertama adalah Tuhan memposisikan Saya diantara orang-orang hebat. Keluarga Saya tidak menempatkan Saya sebagai ‘mahkluk asing’. Mereka senantiasa memperlakukan Saya dengan semestinya. Satu penyesalan Saya adalah sering kali Saya membuat mereka menjadi ‘terbebani’.
Osteogenesis Imperfecta atau apapun yang Saya derita saat ini, semuanya terjadi atas kehendak Tuhan maka biarkan Tuhan pula yang menyelesaikan dengan cara-Nya.

Dan untuk para penderita Osteogenesis Imperfecta diluar sana, dimanapun kalian berada, tetaplah kuat, tetap semangat !




( Ini adalah Saya sekarang setelah hampir tiga puluh dua tahun bersama Osteogenesis Imperfecta. )



                                                                                                         Oleh : Novi Ramalia


No comments:

Post a Comment