Kali ini saya hadir dengan sebuah kisah hidup yang luar
biasa dari salah satu penderita OI. Seorang wanita luar biasa yang pantang
menyerah, penuh talenta, dan tentunya penuh dengan semangat dalam meraih masa
depan yang lebih baik meski terlahir dengan 'label' Osteogeneis Imperrfecta
!
Awal perkenalan kami pun karena sebuah artikel tentang OI
yang kemarin saya buat ( Aku & Osteogenesis Imperfecta ! ) dan dari sana kami menjadi semakin
dekat. Saya begitu tersentuh saat membaca kisah hidup seorang Novi Ramalia,
betapa dia begitu tabah dalam menghadapi segala 'dampak' dari OI didalam
kehidupannya dan membuktikan kepada semua orang, bahwa terlahir dengan sebuah
kekurangan tidak harus membuat kita menjadi lemah.
Sungguh suatu kebanggaan bagi saya bisa mengenal seorang
Novi Ramalia , pribadinya yang ramah dan penuh semangat telah membawa dampak
yang luar biasa didalam hidup saya, dimana semangat dan perjuangannya juga
telah menguatkan saya dalam menghadapi OI.
Dan semoga kisah hidup dan perjuangan seorang Novi Ramalia
juga dapat menguatkan para penderita OI diluar sana :)
( Novi Ramalia, wanita penderita OI yang luar biasa ! )
Osteogenesis
Imperfecta (OI) telah mematahkan tulang-tulang Saya, tapi dia tidak mampu
mematahkan hati Saya untuk terus bertahan.
Kini
hampir tiga puluh dua tahun Saya hidup dengan OI. Tidak mudah, namun semua masa
bisa terlewati.
Saya
terlahir sebagai anak ketiga. Seperti orang tua pada umumnya, Ayah dan Ibu
menyambut Saya bahagia ketika mengetahui kondisi bayinya terlahir normal,
bertubuh lengkap dan menangis keras, pertanda bayi sehat.
Dalam
masa pertumbuhan tak ada yang janggal terjadi pada diri Saya. Seperti bayi-bayi
lainnya, Saya bisa merangkak, berbicara bahkan berjalan tanpa ada
keterlambatan.
Di
usia Saya yang ketika itu sekitar satu setengah tahun, Saya menggigit pengasuh
yang kemudian karena terkejut, menepis dan mengakibatkan patah tulang pertama
pada tangan Saya.
Belum
ada kecurigaan apapun terhadap diri Saya, menurut Dokter tulang bayi yang masih
‘lembut’ akan cepat menyambung dan normal kembali. Itu benar, tidak terlalu
lama tulang tangan Saya telah tersambung.
Selang
beberapa bulan setelah kejadian itu, lagi-lagi Saya mengalami patah tulang,
namun kali ini tanpa penyebab yang wajar. Orang tua Saya merasa ada keanehan
pada diri Saya dan mulai berkonsultasi pada Dokter. Setelah diselidiki, Dokter
memperkirakan Saya mengidap rapuh tulang . penjelasan Dokter, rapuh
tulang bisa terjadi karena kelebihan atau kekurangan kalk. Setelah diurut
kebelakang, memang ketika Saya ada dalam kandungan, Ibu Saya sempat sakit dan
mendapat cairan infus kalk. Bisa jadi yang terjadi pada Saya adalah kelebihan
kalk.
Setelah
itu, patah tulang seolah menjadi mimpi buruk bagi kedua orang tua Saya. Mereka
punya kecemasan yang berlebih ketika Saya tidak ada di sekitar mereka. Mereka
ketakutan ketika mendengar tangisan seorang anak yang mungkin saja itu Saya.
Sementara, Saya ... yang belum tahu cara ‘menjaga diri’ selalu saja ingin tetap
bermain seperti anak-anak lainnya.
Tumbuh
bersama OI tidak membuat Saya menjadi terasing. Saat Sekolah Dasar (SD) Ibu
Saya (yang kala itu telah menjadi single Mother, karena Ayah Saya meninggal)
memilihkan SD yang dekat dengan tempat tinggal Kami, dengan maksud agar bila
terjadi sesuatu pada Saya akan segera bisa ditangani. Tak jarang dari rumah pun
Ibu Saya sudah bisa mendengar dan menebak bila ada suara tangisan pastilah itu
Saya yang tengah menahan sakit. Biasanya teman-teman dan Guru mengantarkan Saya
kerumah atau Ibu Saya yang datang ke sekolah. Benar saja, kadang Saya patah
tangan, kadang patah kaki. Kadang karena Saya berlari, kadang karena terdorong
teman.
Kalau
sudah begitu, Ibu Saya dengan sabar menemani Saya. Mengipasi tulang yang
terbungkus perban yang menurut Saya gatal, panas, bau. Meminum obat penghilang rasa sakit juga
sedikit membantu. Seminggu pertama adalah masa yang berat.
Beberapa
patahan pada tubuh Saya, tidak membuat Saya menjadi anak yang pasif. Tetap saja
Saya bermain petak umpet, ikut naik ke atas bukit untuk menangkap capung bahkan
Saya ikut menari bersama teman-teman untuk acara perpisahan sekolah. Ketika
Saya naik ke atas panggung, tidak ada tepuk tangan, yang ada hanya wajah-wajah
tegang para Guru. Mereka mengkhawatirkan Saya. Saat musik berhenti, tarian Saya
selesai mereka bertepuk tangan meriah, entah karena tarian Kami yang indah atau
karena perasaan lega karena tidak terjadi hal yang buruk terhadap Saya.
Setamat
dari SD, Saya agak susah mencari Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk
melanjutkan pendidikan. Ada beberapa sekolah negeri yang menolak Saya sebagai
muridnya meski nilai Saya mencukupi. Mereka beralasan kondisi fisik Saya akan
menyulitkan untuk menerima pelajaran dari mereka. Akhirnya, setelah agak telat
Saya bisa diterima sebagai murid di salah satu sekolah swasta.
Patah
tulang masih terus-terusan terjadi pada Saya. Sampai suatu hari, Kami sempat
berkunjung ke Jakarta untuk melakukan pengobatan ke Rumah Sakit yang ada di
daerah Pasar Minggu.
Disana
tidak banyak yang dilakukan kecuali, tes urine, pengambilan darah dan teraphy. Dalam
wawancaranya, Dokter menanyakan apakah Kakak atau Adik Saya ada yang mengalami
hal yang sama, dan beruntungnya tidak. Saat itu, Saya berusia dua belas atau
tiga belas tahunan, Dokter mengatakan pada Ibu Saya, bahwa inipun sudah menjadi
mukjizat. Karena secara teori kedokteran seharusnya Saya hanya bisa hidup
sekitar sepuluh tahunan. Pada waktu yang sama, Saya sempat menjadi contoh para
Dokter untuk melakukan penelitian terhadap OI.
Karena
ketika itu Kami masih berdomisili di Palembang, sangatlah tidak mungkin untuk
terus-terusan melakukan pengobatan di Jakarta. Semua mengalir begitu saja.
Hingga, suatu malam ... Saya berusaha membawa guling dengan menyeret yang
ternyata talinya terkait di pergelangan kaki Saya. Jatuh terlungkup ! itu yang
terjadi. Tiga tulang Saya patah dalam waktu bersamaan. Lengan kanan, tangan
kiri dan lutut sebelah kiri. Seperti biasa, gips dan perban membungkus
bagian-bagian tubuh Saya.
Tak
ada prasangka apapun, Saya pikir setelah sebulan Saya pastilah akan bisa
berjalan kembali. Namun prediksi Saya salah. Setelah seluruh gips dibuka, lutut
Saya tidak lagi bisa diluruskan dan tangan-tangan Saya tidak bisa menyentuh
muka, kepala, telinga.
Mungkin
itu adalah masa terberat Saya untuk berdamai dengan OI. Saya prustasi ketika
Saya tidak bisa menyuapkan makanan dengan tangan Saya sendiri. Saya kesal
ketika Saya harus menyulitkan orang lain untuk membantu Saya ke toilet. Saya
lelah ketika Saya terus-terusan meminta bantuan untuk sekedar menggaruk kepala
saya yang gatal.
Yang
membuat Saya tetap bersemangat adalah bila mengingat sekolah Saya, bagaimanapun
Saya harus cepat bisa pulih agar bisa kembali bersekolah.
Namun
waktu begitu cepat. Belum lagi Saya sembuh benar, masa sekolah sudah dimulai.
Sangat tidak dimungkinkan bagi Saya untuk meneruskan sekolah. Mengingat
akomodasi dan biaya yang pastilah akan sangat mahal bagi Kami.
Situasi
itu semakin membuat Saya merasa terpuruk. Kala melihat siswa siswi berpakaian
seragam sekolah, dalam hati Saya berteriak sejadi-jadinya. Jantung Saya berdetak kencang.
Mata Saya memanas menahan airmata.
Banyak
malam yang Saya lewati dengan airmata. Disaat seluruh keluarga telah terlelap,
itulah saat yang tepat bagi Saya untuk menangis. Saya berada di usia remaja
yang kata orang pada usia itu ‘hidup terasa begitu indah’, namun Saya
kehilangan momen itu. Banyak waktu yang Saya habiskan untuk mempertanyakan
‘kehebatan’ Tuhan. Saya berharap agar Tuhan membuat Saya mati.
Nampaknya
Tuhan mendengar ‘pengharapan’ Saya. Tidak lama dari ulang tahun Saya yang ke
tujuh belas, sekali lagi Saya mengalami kesakitan, namun kali ini bukan patah
tulang. Melainkan sesak nafas yang diperkirakan akibat paru-paru terpenuhi oleh
slem.
Saya
berada diantara kesadaran dan tidak. Bernapas dengan tabung oksigen sangatlah tidak
nyaman. Saya sudah tidak tahu lagi bagian mana dari tubuh Saya yang terasa
sakit. sekali waktu Dokter berusaha untuk me-rontgen bagian dada Saya, namun
itu tidak berhasil. Gambar yang didapat blur. Seperti dalam sinetron Saya di
bawa kembali keruang perawatan dengan para perawat yang berlarian panik. Saya
tidak bisa bernafas.
Tidak
ada tindakan dari Dokter, kecuali pemberian obat batuk dan oksigen. Karena
memang hanya itu yang bisa dilakukan, selebihnya adalah pasrah.
Saya
pun telah pasrah, Saya biarkan kehendak Tuhan yang terjadi. Rasa sakit, lelah,
dan tidak berkepastian sangatlah menyiksa. Saya memohon ampun pada Tuhan karena
telah terlalu berani untuk mati. Saya janjikan pada Tuhan bila masih ada
kesempatan hidup bagi Saya, Saya tidak lagi menuntut Tuhan untuk ‘mematikan’
Saya.
Keajaiban
itu terjadi, esok harinya saat tubuh Saya akan dibersihkan, selang oksigen bisa
dilepas dengan waktu yang agak lama tanpa Saya harus tersengal-sengal.
Pelan-pelan Saya benar-benar bisa lepas dari oksigen dan pulang kembali kerumah.
Waktu
tidak berjalan mundur, dia terus membawa Saya dalam usia dewasa. Pemikiran Saya
pun berubah. Mental Saya tak lagi lemah. Tidak ada lagi tangisan untuk masa
lalu. Tidak lagi merasa sedih ketika ada orang yang memandang ‘aneh’. Lalu bisa
menjawab dengan senyuman ketika ada yang bertanya “kenapa tangannya bengkok ?
kenapa nggak bisa jalan ? kenapa badannya kecil ?” . Saya bilang “karena waktu
kecil Saya terlalu nakal ...” dan Saya tetap tersenyum.
Mengisi
waktu adalah cara jitu untuk tidak berlarut-larut ada dalam penyesalan. Saya
tidak punya banyak ilmu, tidak juga berprestasi namun setidaknya Saya bisa
berbuat sesuatu untuk menyenangkan orang lain yang akan memberikan efek
kebahagiaan bagi Saya.
Saya
tidak pernah kursus memasang payet, tapi ala bisa karena biasa. Sejak tahun dua
ribu-an bila ada keluarga yang akan menikah biasanya Saya akan menjadi ‘seksi
sibuk’ pemasangan payet. Ada beberapa karya Saya.
( Bustier
dengan swaroski dan payet ronce. )
( Kebaya full payet. )
Selain
mengisi waktu dengan 'bermain-main' benang, jarum, batu-batuan, payet
warna-warni, Saya juga sangat mencintai menulis. Ada beberapa tulisan Saya yang ‘menyempil’
dalam sebuah buku.
( Buku-buku yang tersempil beberapa baris
tulisan Saya. )
Itu
adalah empat buku dari beberapa buku yang Saya ‘kotori’ halamannya dengan
tulisan Saya yang masih jauh dari sempurna. Namun inilah cita-cita besar Saya, kini Saya
masih berusaha mewujudkannya, termasuk menulis skenario yang kini tengah Saya
gandrungi untuk Saya pelajari. Saya sadar betul kesempatan untuk ‘sukses’ bagi
orang-orang seperti Saya sangatlah sedikit, namun Saya ingin menjadi bagian yang
sedikit itu.
Kini
telah sekitar tujuh belas tahun Saya bergerak dengan kursi roda. Perlahan
tangan kanan Saya yang tadinya sudah tidak bisa digunakan sesuai fungsinya,
sekarang bisa kembali ‘berfungsi’. Saya sudah bisa makan tanpa disuapi, bisa
memegang gelas dan meminumkan sendiri, mampu keramas meski dengan satu tangan , bahkan
belakangan Saya bisa mondar-mandir sendiri ke toilet. Ini berkah !
Saya
paham, Saya bukanlah orang yang paling menderita masih banyak di bagian sana
manusia-manusia yang lebih susah, lebih sakit, lebih tersiksa. Dari itu selayaknya
Saya tak perlu mengeluh dan Saya pun tidak ingin menjadi manusia yang tidak
bersyukur. Bersyukur adalah cara Saya untuk menjadi bahagia.
Dan
pensyukuran Saya yang paling pertama adalah Tuhan memposisikan Saya diantara
orang-orang hebat. Keluarga Saya tidak menempatkan Saya sebagai ‘mahkluk
asing’. Mereka senantiasa memperlakukan Saya dengan semestinya. Satu penyesalan
Saya adalah sering kali Saya membuat mereka menjadi ‘terbebani’.
Osteogenesis
Imperfecta atau apapun yang Saya derita
saat ini, semuanya terjadi atas kehendak Tuhan maka biarkan Tuhan pula yang
menyelesaikan dengan cara-Nya.
Dan untuk para penderita Osteogenesis Imperfecta
diluar sana, dimanapun kalian berada, tetaplah kuat, tetap semangat !
( Ini
adalah Saya sekarang setelah hampir tiga puluh dua tahun bersama Osteogenesis
Imperfecta. )
Oleh : Novi Ramalia
No comments:
Post a Comment