( Penderita
Kerapuhan Tulang, Tinggi 97 Cm Lahirkan Bayi Panjang 34 Cm )
Dua puluh tujuh tahun Marasai hanya dapat
tergolek di tempat tidurnya. Kelainan genetik berupa kerapuhan tulang (osteogenesis
imperfecta/OI), membuat kehidupannya marasai (sengsara, red) sesuai namanya.
Namun kini Marasai tak lagi marasai. Selain ada Suradi (48), sang suami yang setia menemaninya, kini dia pun sudah dianugerahi buah hati.
Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11.00 WIB, hiruk-pikuk di RSUP M Djamil Padang berjalan seperti biasanya. Di salah satu ruangan perawatan, terlihat seorang wanita setinggi 97 Cm meter tergolek lemah di tempat tidurnya.
Beberapa selang terpasang di tubuh kecil itu. Sesekali terdengar rintihan keluar dari mulutnya. Dia merasakan lapar amat kepalang. Namun petugas medis berada dekatnya, seakan mengacuhkan rintihan itu.
Sang petugas bukannya mengacuhkan, tapi wanita itu memang belumlah boleh makan dan harus puasa usai menjalani operasi. Biar begitu, sang wanita munggil itu tetap ngotot. Dia pun meminta petugas mengizinkannya makan buah-buahan. Tapi, petugas itu tetap menggeleng.
Wanita mungil itu tak lain bernama Marasai, pasien mengalami kerapuhan tulang (osteogenesis imperfecta/OI) yang baru saja melahirkan.
Kepada Padang Ekspres (Riau Pos Group/RPG) begitu panggilannya mengaku sangat berbahagia. Sesosok bayi laki-laki baru saja lahir dari rahimnya.
Dituturkannya, selama 27 tahun dia hanya terbaring di tempat tidurnya. Dia hanya mengandalkan belas kasihan orang-orang bersedia merawatnya.
Terkadang akibat kesibukan keluarganya, dia terkadang diabaikan. Biar begitu dia tak lupa berdoa pada Tuhan, agar suatu saat mendapat anugerah.
Akhirnya Tuhan mengabulkan doanya. Dia ingat betul ketika tiba-tiba handphone-nya berdering. Sewaktu mengangkatnya, dia mendengar suara laki-laki di dalam handphone-nya. Berawal dari situlah, perkenalan Marasai dengan suaminya, Suradi.
Berawal komunikasi lewat handphone, akhirnya benih-benih cinta pun hadir di hati Marasai dan Suradi. Sampai akhirnya, pasangan sejoli ini janjian ketemu.
‘’Suami saya waktu itu sedang mengacak-ngacak nomor. Entah sebuah kebetulan atau sudah ketentuan Allah, akhirnya nomor saya terpencet. Tanggal 29 Mei 2012 kami ketemu, dan 8 Juni kami menikah,’’ ujarnya.
Saat pertama kali bertemu, wanita asal Sangir Kabupaten Solok Selatan itu sempat minder akan kondisi dirinya. Apalagi mengetahui laki-laki yang dikenalnya lewat handphone itu normal.
‘’Alhamdulillah, ternyata dia mau menerima kekurangan dan kelebihan saya. Dia jujur dan saya juga jujur kala pertemuan itu. Sampai akhirnya, dia melamar dan menikahi saya,’’ ucapnya sembari tersenyum.
Sebulan usai menikah, Marasai dinyatakan positif hamil. Waktu itu, alangkah bahagianya pasangan bertaut usia ini. ‘’Saya sangat bahagia, tak pernah terlintas dalam pikiran saya bisa memiliki anak dengan kondisi seperti ini,’’ ucapnya.
Nama Marasai diberikan orangtuanya, karena hidup keluarganya susah. Dalam bahasa Minang, Marasai artinya sengsara. ‘’Saya beruntung memiliki suami seperti abang. Dia mau menerima saya apa adanya,’’ ucapnya.
Kedatangannya ke RSUP M Djamil Padang, awalnya bukan untuk melahirkan mengingat usia kandungannya belum cukup umur (baru enam bulan). Waktu itu, Marasai merasakan sakit perut tak tertahankan. Saking tak tertahankannya, akhirnya tim medis memutuskan agar proses persalinan segera dilakukan.
‘’Alhamdulillah, saya melahirkan dengan selamat. Sampai hari ini, saya belum tahu bagaimana wajah anak saya. Saya baru dengar suaranya saja,’’ ucapnya.
Marasai juga belum memberikan nama untuk putra pertamanya tersebut. Sekarang, dia bersama sang suami masih mencari nama yang cocok buat anaknya dari Alquran. ‘’Anak saya belum ada namanya, saya masih mencari nama buatnya,’’ ucapnya.
Suradi sejak awal menemani sang istri mengaku, perkenalannya dengan Marasai memang tak sengaja. Kala pertama kali bertemu Marasai, hatinya merasa tergugah melihat penderitaan Marasai.
Saat itulah muncul keinginan dalam hatinya untuk menjaga dan merawat Marasai. Dia tak ingin Marasai terus marasai.
‘’Saya menikahinya bukan karena nafsu. Beda usia kami memang terpaut jauh. Saat ini umur saya sudah 48 tahun, sedangkan istri saya baru 27 tahun. Saya tak tega melihat dia tak ada yang mengurus. Bahkan sampai pukul 15.00 WIB pun, dia belum ada memberikan makanan. Di situlah hati saya tergugah,’’ katanya.
Suradi mengaku tak ada rasa penyesalan sedikit pun dalam hatinya menikahi Marasai. Dia tulus mencintai Marasai atas segala kekurangan dan kelebihan.
Namun kini Marasai tak lagi marasai. Selain ada Suradi (48), sang suami yang setia menemaninya, kini dia pun sudah dianugerahi buah hati.
Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11.00 WIB, hiruk-pikuk di RSUP M Djamil Padang berjalan seperti biasanya. Di salah satu ruangan perawatan, terlihat seorang wanita setinggi 97 Cm meter tergolek lemah di tempat tidurnya.
Beberapa selang terpasang di tubuh kecil itu. Sesekali terdengar rintihan keluar dari mulutnya. Dia merasakan lapar amat kepalang. Namun petugas medis berada dekatnya, seakan mengacuhkan rintihan itu.
Sang petugas bukannya mengacuhkan, tapi wanita itu memang belumlah boleh makan dan harus puasa usai menjalani operasi. Biar begitu, sang wanita munggil itu tetap ngotot. Dia pun meminta petugas mengizinkannya makan buah-buahan. Tapi, petugas itu tetap menggeleng.
Wanita mungil itu tak lain bernama Marasai, pasien mengalami kerapuhan tulang (osteogenesis imperfecta/OI) yang baru saja melahirkan.
Kepada Padang Ekspres (Riau Pos Group/RPG) begitu panggilannya mengaku sangat berbahagia. Sesosok bayi laki-laki baru saja lahir dari rahimnya.
Dituturkannya, selama 27 tahun dia hanya terbaring di tempat tidurnya. Dia hanya mengandalkan belas kasihan orang-orang bersedia merawatnya.
Terkadang akibat kesibukan keluarganya, dia terkadang diabaikan. Biar begitu dia tak lupa berdoa pada Tuhan, agar suatu saat mendapat anugerah.
Akhirnya Tuhan mengabulkan doanya. Dia ingat betul ketika tiba-tiba handphone-nya berdering. Sewaktu mengangkatnya, dia mendengar suara laki-laki di dalam handphone-nya. Berawal dari situlah, perkenalan Marasai dengan suaminya, Suradi.
Berawal komunikasi lewat handphone, akhirnya benih-benih cinta pun hadir di hati Marasai dan Suradi. Sampai akhirnya, pasangan sejoli ini janjian ketemu.
‘’Suami saya waktu itu sedang mengacak-ngacak nomor. Entah sebuah kebetulan atau sudah ketentuan Allah, akhirnya nomor saya terpencet. Tanggal 29 Mei 2012 kami ketemu, dan 8 Juni kami menikah,’’ ujarnya.
Saat pertama kali bertemu, wanita asal Sangir Kabupaten Solok Selatan itu sempat minder akan kondisi dirinya. Apalagi mengetahui laki-laki yang dikenalnya lewat handphone itu normal.
‘’Alhamdulillah, ternyata dia mau menerima kekurangan dan kelebihan saya. Dia jujur dan saya juga jujur kala pertemuan itu. Sampai akhirnya, dia melamar dan menikahi saya,’’ ucapnya sembari tersenyum.
Sebulan usai menikah, Marasai dinyatakan positif hamil. Waktu itu, alangkah bahagianya pasangan bertaut usia ini. ‘’Saya sangat bahagia, tak pernah terlintas dalam pikiran saya bisa memiliki anak dengan kondisi seperti ini,’’ ucapnya.
Nama Marasai diberikan orangtuanya, karena hidup keluarganya susah. Dalam bahasa Minang, Marasai artinya sengsara. ‘’Saya beruntung memiliki suami seperti abang. Dia mau menerima saya apa adanya,’’ ucapnya.
Kedatangannya ke RSUP M Djamil Padang, awalnya bukan untuk melahirkan mengingat usia kandungannya belum cukup umur (baru enam bulan). Waktu itu, Marasai merasakan sakit perut tak tertahankan. Saking tak tertahankannya, akhirnya tim medis memutuskan agar proses persalinan segera dilakukan.
‘’Alhamdulillah, saya melahirkan dengan selamat. Sampai hari ini, saya belum tahu bagaimana wajah anak saya. Saya baru dengar suaranya saja,’’ ucapnya.
Marasai juga belum memberikan nama untuk putra pertamanya tersebut. Sekarang, dia bersama sang suami masih mencari nama yang cocok buat anaknya dari Alquran. ‘’Anak saya belum ada namanya, saya masih mencari nama buatnya,’’ ucapnya.
Suradi sejak awal menemani sang istri mengaku, perkenalannya dengan Marasai memang tak sengaja. Kala pertama kali bertemu Marasai, hatinya merasa tergugah melihat penderitaan Marasai.
Saat itulah muncul keinginan dalam hatinya untuk menjaga dan merawat Marasai. Dia tak ingin Marasai terus marasai.
‘’Saya menikahinya bukan karena nafsu. Beda usia kami memang terpaut jauh. Saat ini umur saya sudah 48 tahun, sedangkan istri saya baru 27 tahun. Saya tak tega melihat dia tak ada yang mengurus. Bahkan sampai pukul 15.00 WIB pun, dia belum ada memberikan makanan. Di situlah hati saya tergugah,’’ katanya.
Suradi mengaku tak ada rasa penyesalan sedikit pun dalam hatinya menikahi Marasai. Dia tulus mencintai Marasai atas segala kekurangan dan kelebihan.
( Marasai ditemani suaminya suradi )
‘’Saya tak menyesal telah memilihnya sebagai istri. Justru saya sangat sayang padanya. Saya aslinya berasal dari Jawa yakni dari Malang. Sekarang tak terlintas lagi dalam pikiran saya kembali ke Jawa dan meninggalkan Marasai,’’ ucapnya.
Awalnya Suradi tinggal di Sungairumbai, namun sejak menikah dengan Marasai, dia tinggal di Sangir Solok Selatan. Sehari-hari dia bekerja sebagai pemotong getah.
Sebelum berangkat kerja, dia terlebih dahulu memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, memandikan dan menyuapkan Marasai. Setelah itu, barulah dia berangkat ke ladang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Dia sadar atas keterbatasan fisik Marasai, istrinya pastilah tidak akan dapat mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Itulah sebabnya, dia melakukan pekerjaan tersebut sendiri.
‘’Istri saya hanya bisa tergolek di tempat tidur. Jika mau ke mana-mana, saya membawanya menggunakan papan. Kalau tak hati-hati membawanya, maka tulang belakangnya bisa patah. Makanya, harus hati-hati sekali mengangkatnya,’’ tuturnya.
Saat Allah menganugerahi dia dan Marasai seorang anak laki-laki, dia merasa sangat bahagia. Namun, dia tak tega saat melihat begitu banyak selang dipasang di tubuh istrinya.
‘’Banyak sekali selang dipasang di badannya. Sudah seperti robot saja. Tak tega saya melihat istri saya begitu,’’ tuturnya. ‘’Biar begitu, saya sangat bahagia bisa memiliki mereka. Kehadiran mereka berdua adalah anugerah terindah dalam hidup saya,’’ ucapnya.
Baru Pertama
Direktur Utama RSUP M Djamil Padang, Dr Hj Aumas Pabuti menuturkan, pihak rumah sakit M Djamil Padang baru pertama kali menangani kasus pasien OI hamil dan melahirkan. Bahkan kasus tersebut, baru pertama kali terjadi di Indonesia. Seluruh biaya pengobatan Marasai dan bayinya ditanggung rumah sakit.
‘’Marasai kemarin telah melahirkan. Saat ini bayi masih diinkubator, karena lahir belum cukup umur. Usia kandungannya baru 6 bulan,’’ ucapnya.
Ditambahkan dr Eni Yantri SpA, Marasai melahirkan bayi dengan berat 750 gram, panjang 34 Cm berjenis kelamin laki-laki. Berat badan bayi Marasai memang amat rendah.
‘’Idealnya berat badan lahir itu 3 Kg. Bayi lahir dengan ibu menderita OI, maka kemungkinan dia menderita OI sebanyak 50 persen,’’ ucapnya.
Akibat bayi lahir tak cukup bulan, tambahnya, menyebabkan parunya tak berkembang baik dan otaknya belum sempurna. Saat ini bayi Marasai diletakkan dalam inkubator.
Untuk membantu agar perkembangan parunya lebih baik, maka bayi Marasai dibantu alat ventilor dan diberikan obat berupa surfaktan. ‘’Kalau organnya sudah berfungsi secara baik, maka peralatan yang dipasang di tubuh bayi akan dilepas,’’ tuturnya.
Senada dengan itu, dr Dovy Djanas SpOG yang juga menangani Marasai, menuturkan penyakit kerapuhan tulang Marasai diturunkan secara genetik.
Bayi Marasai juga sudah dites radiologi tulang. Hal ini dilakukan untuk memastikan bayi menderita penyakit OI atau tidak. Jika hasil radiologi tulang menyebutkan sang bayi memiliki penyakit sama dengan ibunya, maka dapat dilakukan terapi sejak awal. Hingga, kualitas hidupnya lebih baik. (ila)
‘’Hasil pemeriksaan ultrasound, kerapuhan tulang pada bayinya tidak terlalu berat. Kalau Marasai kan dia sudah masuk kategori III sehingga tulangnya mudah patah,’’ ucapnya.
Keputusan tim medis melakukan operasi caesar dalam proses persalinan bayi Marasai, tambahnya, diambil karena kapasitas perut Marasai tidak bisa menampung rahim yang ada. Sehingga, terjadi kontraksi. Jika operasi caesar tak segera dilakukan, maka hal itu dapat membahayakan keselamatan ibunya.
‘’Makanya, kami putuskan operasi caesar untuk proses persalinan. Sebetulnya dengan penyakit OI yang diderita Marasai, tim dokter tak merekomendasikannya untuk hamil. Namun, Allah sudah berkehendak apa yang tak mungkin bisa jadi mungkin. Marasai telah membuktikan hal itu. Anugerah Allah telah datang pada keluarga kecilnya. Marasai sangat bahagia, karena telah diberikan Allah rezeki. Mudah-mudahan Marasai tak lagi marasai,’’ tuturnya.(rpg)
Sumber berita : Riau Pos
No comments:
Post a Comment