Monday, May 27, 2013

Calvin Indi Sutanto ( Anak penderita OI )



                                                   ( Alm. Calvin Indi Sutanto )

        
     Kami berterima kasih kepada Andy Prasetya, yang berkenan membagikan kepada kami, kesaksian imannya yang sangat menyentuh hati. Andy mengalami besarnya kasih Tuhan justru melalui pergumulan hidup ketika mengetahui bahwa anaknya, Calvin, mengalami cacat tubuh. Bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, kenyataan ini dapat mendatangkan keputuasaan, namun bagi Andy sekeluarga, kejadian ini malah memperkuat iman dan pengharapan mereka akan Tuhan Yesus. Ya, Tuhan mengetahui segala yang terbaik baik setiap dari kita. Melalui pengalaman Andy ini kita melihat betapa ayat firman Tuhan ini digenapi:

“Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita….” (Rom 5:3-5)
Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga Katolik, di sebuah kota kecil di Solo, Jawa tengah. Sejak kecil kami dididik secara Katolik. Aku dibaptis sejak kecil dan menuntut ilmu di sekolah Katolik. Namun bagiku saat itu, semuanya hanyalah rutinitas belaka tanpa iman yang benar-benar menunjukkan seorang Katolik sejati. Aku bertemu dengan istriku pada saat kami kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Akhirnya setelah selesai kuliah kami memutuskan untuk menikah dan memulai kehidupan berumah tangga. Tak lama kemudian tepatnya tanggal 10 Mei 1997, hadir seorang bayi laki-laki dalam kehidupan kami, yang kemudian kami beri nama Calvin Indi Sutanto. Seorang bayi yang lucu yang lahir melalui persalinan normal. Namun saat indah itu hanya berlangsung untuk waktu yang sangat singkat. Di usianya yang ke-10 hari, kami mendapati Calvin menangis terus dan kedua tangannya tak dapat bergerak. Ketika kami bawa ke dokter , vonis yang kejam pun kami terima bahwa Calvin menderita polio. Kami tidak percaya, karena dengan mata kepala sendiri kami melihat pada saat lahir semua anggota tubuh dia berfungsi dengan normal. Setelah akhirnya mencari beberapa dokter untuk mendapatkan diagnosa yang pasti, sampailah kami pada suatu nama penyakit yang sangat aneh di telinga kami “osteogenesis imperfecta”, suatu penyakit tulang yang langka yang disebabkan kelainan genetika, dimana tulang mudah sekali patah terhadap benturan sekecil apapun. Itulah mengapa kedua tangan Calvin tidak dapat bergerak karena setelah di rontgen baru terlihat bahwa kedua lengannya patah. Dan sedihnya lagi hingga detik itu belum ada satu jenis obat pun yang dapat mengobati langka tersebut.






Maka dimulailah babak baru di dalam kehidupan kami untuk membesarkan dan menjaga titipan Tuhan ini. Selama hampir satu tahun usianya, sudah berpuluh-puluh kali Calvin mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Saat belajar merangkak tangannya pun patah, saat belajar duduk paha dan kakinya pun patah. Kami tak bisa membayangkan kesakitan yang dahsyat yang dialaminya setiap kali tulangnya patah. Namun Tuhan sangat adil kepada Calvin. Itu dibuktikan pada saat usianya satu tahun dia sudah dapat berbicara, bahkan membaca sepatah dua patah kata. Sehingga ketika anggota tubuhnya patah, dia sudah dapat berteriak sambil menunjukkan bagian mana yang patah. Karena belum ditemukan obat untuk penyakit tersebut, maka hanya keajaiban dan mujizat Tuhan lah yang menjadi harapan kami satu-satunya. Setiap saat kami selalu berdoa kepada Tuhan untuk menurunkan mujizatNya kepada Calvin. Tak lupa kami pun mengajarkan Calvin untuk selalu berdoa kepada Tuhan pada waktu malam sebelum dia berangkat tidur, untuk memohon kesembuhan.

Di usianya yang ketiga Calvin mendapatkan sebuah hadiah dari Tuhan, yaitu seorang adik kecil perempuan, yang kemudian kami beri nama Anabel. Kelahiran Anabel sempat membawa kebimbangan besar dalam hidup kami, karena menurut dokter kandungan, apabila istriku melahirkan seorang anak laki-laki maka kemungkinan untuk menderita penyakit seperti Calvin bisa terjadi lagi. Walaupun kemungkinan itu kecil, namun kami harus bersiap dengan resikonya. Maka sampai dengan harinya Anabel lahir, melalui persalinan normal dan diketahui berjenis kelamin perempuan, barulah kelegaan menyelimuti perasaan kami. Mereka berdua pun tumbuh dan berkembang bersama. Namun satu perbedaan fisik yang mencolok bisa dilihat dari keduanya. Anabel tumbuh sebagaimana anak seusianya, sedangkan Calvin walaupun usianya bertambah, tetapi bentuk fisiknya tetap seperti anak berusia dua tahun.



Rasa lelah untuk berharap

Sepanjang hari setiap waktu aku tak berhenti berdoa untuk memohon mujizat pada Tuhan agar Calvin disembuhkan. Namun akhirnya rasa lelah pun menghinggapi diriku. Aku capek memohon kepada Tuhan, namun hingga saat itu Tuhan tak pernah menjawab dan mengabulkan doaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk marah dan putus hubungan dengan Tuhan. Biarlah semua ini kutanggung sendiri tanpa mengharapkan belas kasihan dan bantuan Tuhan. Dua tahun lamanya aku meninggalkan Tuhan, aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri tanpa ada waktu untuk merayakan Misa ke gereja, mengucap syukur dan memohon berkat dariNya. Kubiarkan istriku sendiri setiap Minggu pergi ke gereja, tanpa pernah aku menemaninya. Karena bagiku Tuhan sudah menjauhi aku dan keluargaku, sehingga Dia tak ada waktu lagi untuk mendengarkan dan mengabulkan doaku. Hingga pada suatu ketika dengan sangat terpaksa aku harus menemani istriku ke gereja. Dengan perasaan malas aku terpaksa berangkat menemaninya, kupikir toh hanya satu setengah jam saja aku harus duduk terpekur menemani istriku mengikuti Misa di gereja.

Namun ternyata Tuhan menunjukkan kemuliaanNya saat itu. Ketika pastor menyampaikan homili aku bagaikan ditampar oleh isi kotbahnya. Beliau menceritakan banyak orang berdoa memohon kesembuhan dan mujizat dari Tuhan, namun ketika mujizat itu tak kunjung datang, rasa frustasi dan menyerah akhirnya menghinggapi. Cara memohon atau berdoa yang salah yang menjadi biang keladinya. Sering di dalam doa permohonan kita itu, kita mengharapkan doa kita dikabulkan secepatnya, dan yang lebih parah lagi kita bahkan mendikte Tuhan untuk mengabulkan keinginan kita. Kita sering tidak menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sudah menjawab permohonan kita. Tanpa kita sadar akan kebaikan Tuhan tersebut, kita selalu menginginkan sesuatu yang lebih dan sesuai dengan pengharapan kita. “Terjadilah kepadaku menurut kehendakMu“, itulah yang seharusnya terucap dalam setiap doa kita, membiarkan kuasa Tuhan bekerja sesuai dengan kehendakNya. Selesai Misa tersebut aku seperti terlahir kembali. Terima kasih Tuhan telah menegurku dengan caraMu yang begitu indah. Mulai saat itu kuserahkan seluruh permohonanku sesuai dengan kehendakNya, dan bukan kehendakku.


Cobaan berat itu datang juga

Calvinku akhirnya tumbuh dan berkembang. Dia pun mulai memasuki kehidupan bersosial dengan masuk ke sekolah taman kanak-kanak. Dengan segala kekurangan dalam tubuhnya yang tak dapat berjalan, bersekolah dengan kursi roda dalam mengikuti semua pelajaran dan kegiatan, tak ada sedikitpun rasa minder dan rendah diri pada diri Calvin. Aku dan istriku sangat bersyukur atas kebesaran hati Calvin untuk menyadari segala kekurangannya. Namun untuk menikmati pendidikan bagi dirinya, tak semudah yang didapat anak-anak normal seusianya. Setamat dari TK, kami mulai berusaha mencari sekolah dasar untuk kelanjutan pendidikannya. Namun yang terjadi kemudian, begitu banyak kami mendaftar, begitu banyak juga kami ditolak, bahkan sekolah Katolik idaman Calvin pun tak mengijinkan dia bersekolah disitu, karena takut mengganggu aktivitas teman-temannya. Bahkan kami dianjurkan untuk menyekolahkan Calvin di SLB ( Sekolah Luar Biasa ) untuk anak-anak cacat. Tanpa kecil hati kami pun mendaftarkan Calvin ke SLB. Namun ternyata mereka pun menolak Calvin karena menurut mereka Calvin adalah anak yang normal, hanya fisiknya saja yang menjadi kekurangan dalam dirinya. Dia dapat membaca, menulis, dan mengerjakan semua tugas sekolahnya, jadi akan sangat kasihan apabila Calvin harus bersekolah di SLB karena dia harus bergabung dengan anak-anak yang memiliki banyak keterbatasan dibandingkan dirinya, sehingga justru akan menghambat segala kemampuannya.

Akhirnya Tuhan pun menjawab doa kami, dan Calvin menemukan sebuah sekolah umum yang mau menampungnya, tanpa memandang cacat fisik yang dimilikinya. Bahkan untuk mata pelajaran olah raga dan prakarya dia mendapatkan dispensasi khusus untuk diganti dengan pelajaran teori sebagai pengganti ketidakikutsertaannya. Terpancar begitu besar suka cita dalam diri Calvin karena sekarang dia dapat melanjutkan pendidikannya, sesuatu yang sangat didambakannya. Bahkan di setiap jenjang kelas yang diikutinya, dia berhasil memperoleh ranking dua atau tiga di setiap akhir semester. Itu pun karena tak mungkin bagi dia untuk menjadi yang terbaik atau juara pertama sebab untuk mata pelajaran olah raga dan prakarya hanya nilai minimal yang diperolehnya sebagai pengganti ketidakikutsertaannya.

Kami sangat bangga dengan Calvin, hingga cobaan berat itu datang lagi di saat Calvin menginjak kelas lima sekolah dasar. Dari yang biasanya selalu menjadi peringkat tiga besar di kelas, tiba-tiba Calvin memperoleh peringkat dua dari belakang, alias ke-dua dari ranking yang paling akhir. Kepala Sekolah, guru-guru dan kami sendiri pun bingung dan berusaha mencari tahu penyebabnya. Walaupun saat itu kami juga menyadari perubahan dalam dirinya yang menjadi malas belajar, sering marah-marah, namun kami masih menganggap hal itu wajar untuk anak seusianya. Memang kami sempat heran saat itu karena biasanya telepon di rumah kami begitu sering berdering dari teman-teman Calvin yang berbicara kepada Calvin untuk menanyakan tugas atau bagaimana menjawab soal pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Tiba-tiba saja telepon itu jarang sekali berdering lagi.



Hingga pada suatu malam Calvin memanggilku dan mengajak berbicara berdua saja di kamarku. “Papi, bunuh diri itu dosa, nggak?” kalimat itu meluncur dari bibirnya seperti menohok diriku. Oh…Tuhan, mengapa kata-kata itu meluncur dari mulut kecil anakku, dan aku belum siap untuk mendengarnya. Sambil berdoa dan menahan air mata ini untuk tidak menetes, kujawab pertanyaan anakku. Kujelaskan kepadanya bahwa bunuh diri itu adalah sebuah dosa besar karena kita sudah melawan kehendak Tuhan. Belum selesai aku bernapas lega, disusul kemudian pertanyaan berikutnya datang lagi, “Kalau aku bunuh diri dosa, berarti kalo papi yang bunuh aku, dosanya ada di papi dong…aku tetap nggak berdosa.“ Sekali lagi aku bagai tersambar petir mendengar pertanyaan polos itu. Namun Roh Kudus seperti merasuki diriku, hingga akhirnya aku pun dapat menjawab dan menjelaskan kepada Calvin kenapa bunuh diri itu dosa. Dia pun bercerita kepadaku betapa putus asanya dia karena hingga saat itu Tuhan tidak menjawab doa-doanya yang dia panjatkan setiap malam sebelum tidur. Aku bagai tersihir dan teringat kembali akan keadaanku sendiri waktu itu yang lelah memohon kepada Tuhan sehingga akhirnya aku pun menghujat Tuhan dalam hidupku. Akhirnya kujawab juga kegusaran anakku, persis seperti kotbah pastor saat itu yang akhirnya membuka kembali pintu hatiku untuk Tuhan. Kujelaskan pada dia bahwa sebenarnya mujizat itu telah terjadi pada dirinya, karena dia masih diberi umur yang panjang, dan hingga kelas lima saat itu, dia sudah jarang lagi mengalami patah-patah tulang dibandingkan pada saat dia masih balita. Dan kuceritakan pula bahwa kita tidak bisa mendikte Tuhan untuk menghadiahkan kepada kita sesuatu yang sama persis seperti keinginan kita, misalnya dia selalu berdoa untuk bisa berjalan dan esoknya Tuhan langsung mengabulkan dan dirinya dapat langsung berjalan. Dan puji Tuhan Calvin pun akhirnya menyadari kesalahannya dan dia pun berjanji saat kelas enam nanti dia akan kembali berprestasi seperti sebelumnya. Dan tahukah Anda…janji itu dibuktikannya sampai akhirnya malaikat Tuhan menjemputnya.
Rencana Tuhan itu begitu indah….

Semester pertama ketika dia duduk di kelas enam, tiba waktunya untuk mengambil raport hasil semester. Dengan harap-harap cemas kami pun pergi ke sekolah Calvin. Ketika kami tiba dan berjumpa dengan wali kelas Calvin, jabat tangan tanda selamat diberikan oleh wali kelas tersebut. Kami terkejut dan tak tahu apa yang terjadi. Ternyata Calvin menepati janjinya untuk kembali berprestasi dan kembali menempati ranking tiga di kelasnya, sesuatu yang sangat membanggakan kami. Namun kebahagiaan kami tak berlangsung lama. Di bulan Desember tahun 2008, dua hari menjelang Natal, tiba-tiba Calvin sakit, bukan patah tulang, tetapi sesuatu yang salah dalam tubuhnya hingga mengganggu pernapasannya. Hingga akhirnya mimpi buruk yang tak pernah terjadi itu hadir dan mencobai kami. Calvin harus dirawat di ICU di Rumah Sakit. Saat itu kami melihat begitu tersiksanya dia karena harus bernapas melalui mesin lewat selang yang masuk dari mulutnya hingga ke paru-parunya, serta begitu banyak alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Padahal Calvin ingin sekali mengikuti Misa Natal bersama kami sekeluarga karena tiga bulan sebelumnya dia sudah menerima Komuni Pertama untuk pertama kalinya, sesuatu yang sangat diidamkannya. Akhirnya Calvin pun terpaksa melewatkan Misa malam Natal saat itu dan berharap cepat sembuh dan kembali ke rumah.

Setelah seminggu dirawat akhirnya Calvin pun diperbolehkan pulang, namun dengan syarat tetap menjaga kondisi tubuhnya untuk tidak terlalu capek. Cuaca buruk di musim hujan mengakibatkan kondisi Calvin tidak stabil, sehingga di awal bulan Januari ia kembali harus dirawat di ICU untuk kedua kalinya. Namun kali ini di rumah sakit yang berbeda, mereka tidak memiliki ruang ICU khusus untuk anak, sehingga Calvin pun harus dirawat bersama- sama dengan banyak orang tua yang sakit keras di ruang ICU tersebut. Baru kali ini kami melihat ketakutan dan kecemasan yang begitu mendalam dalam diri Calvin, karena di kamar tersebut hampir setiap hari terdengar jerit tangis dari keluarga pasien yang meninggal, sehingga itu mempengaruhi jiwanya. “Aku takut sendirian, aku takut kalo aku bobo tiba-tiba mati dan nggak bangun lagi “, itulah kalimat yang selalu terucap dari mulutnya. Kami pun terus menjaga setiap waktu dan membesarkan hatinya supaya tetap tabah dan berdoa mohon kesembuhan dari Tuhan. Hampir dua minggu lamanya Calvin dirawat dan akhirnya dokter pun mengijinkannya untuk pulang.

Manusia boleh berencana tapi Tuhan lah yang menentukan. Baru beberapa hari pulang dari rumah sakit, Calvin sudah ngotot untuk bersekolah lagi, dia takut sebentar lagi Ebtanas, dan dia banyak ketinggalan pelajaran dari teman-temannya. Akhirnya dia pun memaksa kami untuk mengijinkan dia masuk sekolah lagi walaupun saat itu kondisinya belum pulih benar dan cuaca musim hujan yang sangat tidak bersahabat. Hanya tiga hari dia dapat bertahan di sekolah, namun tercermin kebahagiaan yang begitu besar dari raut mukanya ketika dia dapat berjumpa lagi dengan teman-teman kelasnya. Pada hari ketiga dia terpaksa pulang lebih cepat dari sekolah karena kondisi tubuhnya yang memburuk. Namun untuk kali ini Calvin tidak mau dirawat di rumah sakit lagi, “Buat apa aku dirawat lagi, aku benci dengan alat-alat itu, aku ini bukan bahan percobaan dokter yang bisa tusuk sana tusuk sini, biarlah aku istirahat di rumah saja, nanti juga pasti sembuh sendiri.” itulah pembelaan darinya agar tidak dibawa ke rumah sakit.

Namun seiring berjalannya waktu, kondisi Calvin makin memburuk, hingga akhirnya kuputuskan untuk memanggil seorang pastor agar memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada anak kami tersebut. Ketika pastor datang dan mendoakan dia, pada saat itulah Calvin menghadapi saat kritis atau koma, namun di tengah ketidaksadaran dirinya tiba-tiba dia meminta kami semua untuk diam dan kemudian dia berdoa dengan keras sekali suaranya, “Tuhan kuatkanlah aku dalam menghadapi cobaan Mu ini”. Dua kali dia ucapkan kalimat tersebut sampai kemudian dia tidak sadarkan diri lagi. Bergegas kami melarikan Calvin ke rumah sakit dalam kondisi kritis tersebut. Sesampai di ruang gawat darurat rumah sakit, Calvin mendapatkan pertolongan pertama untuk menjaga kesadaran dia. Tak lama kemudian dokter pun menghampiri kami sambil menyampaikan kabar buruk bahwa kecil kemungkinan Calvin dapat tertolong, dan paling lama satu hari lagi dia dapat bertahan. Hal ini disebabkan di dalam tubuh Calvin mengalami keracunan CO2 ( karbondioksida ) karena paru-parunya tidak dapat berfungsi dengan baik untuk membuang CO2 tersebut keluar dari tubuhnya. Dan seandainya dapat bertahan pun hidupnya akan bergantung dari mesin-mesin bantu yang terpasang di tubuhnya. Hal itulah yang selama ini menyiksa dia. Maka kami pun pasrah dan berserah kepada Tuhan untuk memberikan jalan terbaik bagi anak kami tersebut.

Tuhan sekali lagi menunjukkan kebesaranNya ketika keesokan harinya Calvin bangun dan tersadar. Terpancar kesedihan di matanya ketika menyadari bahwa dirinya kini tergolek lagi di ranjang rumah sakit bersama alat-alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Kami pun bersyukur ternyata Tuhan mendengar doa kami, dan masih memberikan waktu kepada anak kami untuk melanjutkan hidupnya. Tak lama kemudian banyak kerabat, teman sekolah Calvin, kepala sekolah dan guru-gurunya datang menjenguk untuk memberikan semangat kepada Calvin agar cepat sembuh. Kami pun terus berdoa dan berserah kepada Tuhan dan mengikhlaskan seandainya Tuhan memang berkenan memanggilnya.

Empat hari setelah dirawat di kamar ICU Calvin tiba-tiba berontak dan memaksa kami untuk membawa pulang ke rumah. Baru sekali ini kami melihat dia memelas sambil memohon untuk boleh pulang dan dirawat di rumah. Ketika kami membujuknya untuk tetap bersabar sambil menunggu kesembuhan dirinya, Calvin pun mulai marah hebat sambil melepas selang-selang dan alat-alat bantu yang menempel di tubuhnya. Akhirnya kami pun menyadari mungkin inilah keinginan terakhir dari Calvin untuk pulang ke rumah, tempat dimana ia ingin beristirahat selamanya. Kami pun dengan berat hati memberanikan diri memohon ijin kepada dokter untuk membawa pulang anak kami tersebut dengan menyadari segala resikonya. Namun sekali lagi Tuhan berkehendak lain. Sambil menunggu jawaban dokter, karena hari itu adalah hari Minggu maka kami harus menunggu jawaban dokter untuk merespon permohonan kami tersebut, tiba-tiba Calvin mengalami pendarahan yang hebat, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena tetap berontak ingin pulang, Calvin akhirnya ditidurkan dengan memberikan suntikan penenang ke dalam tubuhnya. Dan akhirnya dia pun tertidur dan itulah saat terakhir kami melihatnya dalam keadaan sadar.

Dini hari tanggal 9 Febuari 2009 akhirnya malaikat Tuhan datang menjemputnya. Dia telah pergi meninggalkan kami semua. Namun kami percaya itulah jalan terbaik dari Tuhan yang diberikan kepada kami untuk mengakhiri penderitaannya. 



Kepergian Calvin bagi keluarga kami adalah suatu bentuk mujizat dari Tuhan. Kenapa mujizat? Ya, karena Tuhan telah menjawab doa kami, Dia telah membebaskan Calvin dari penderitaan yang dia alami selama ini. Tuhan telah memberi kedamaian abadi kepada anak kami tersebut. 


Kami tak dapat berpikir seandainya dia masih hidup namun bergantung dengan mesin-mesin yang terpasang dalam tubuhnya, sanggupkah dia melewati semua itu. Kami percaya kini dia telah menjadi malaikat kecil Tuhan dan selalu melindungi dan mendoakan keluarga ini. 


Dan setelah setahun lebih Calvin meninggalkan kami, justru hidup kami makin dekat dengan Tuhan, bukan meninggalkan atau menghujatNya karena telah memberikan kami cobaan yang begitu dahsyat ini. 


Kami bersyukur karena begitu besarnya cinta Tuhan kepada kami hingga akhirnya Dia mendengarkan doa kami dan mencabut penderitaan itu dari diri Calvin. Dan Tuhan selalu menepati janjiNya untuk menjaga kami hingga saat ini.http://calvinindi.blogspot.com/


        ( in memoriam  Calvin Indi Sutanto, 10 May 1997 ~ 09 February 2009 )

                                              

No comments:

Post a Comment