( Bayi penderita OI )
Entah apa lagi yang harus dilakukan pasangan suami istri
(pasutri) Fadli (39) dan Afridawati, warga Lubuk Jantan Kecamatan Lintau Guo
Kabupaten Tanah Datar. Rasanya mereka telah berjuang keras mencari dana untuk
mengobati anaknya Aska Fikra Maksudi yang baru berumur 3,5 bulan, yang
menderita penyakit Osteogenesis Imperfecta (OI) atau penyakit kelainan gen pada
tulang, yang menyebabkan mudah patah tulang.
Bahkan
utang-utang pasutri ini telah mencapai belasan juta rupiah untuk membiayai
pengobatan anaknya. Jumlah yang baru dikeluarkan ini masih sedikit, karena
masih banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan. Jumlahnya bisa mencapai
ratusan juta rupiah atau mungkin saja mencapai miliaran rupiah, karena harus
berobat seumur hidup.
Semenjak
Sabtu (1/10) lalu hingga sekarang, anak mereka Aska telah dirawat di RSUP M
Djamil Padang dan menjalani terapi pamidronat di ruang Rawat Inap Bangsal Anak.
Sebagai gambaran, terapi tersebut menggunakan obat berbentuk cairan yang
dipasang menggunakan infus selama satu kali dalam dua bulan.
Sekali
terapi menggunakan sekitar tiga botol cairan, yang harga perbotolnya mencapai
Rp1,4 juta. Artinya, tiap dua bulan sekali, biaya yang harus dikeluarkan untuk
biaya terapi mencapai Rp4,2 juta. Biaya itu belum termasuk biaya perawatan
lainnya yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal Fadli hanya seorang pegawai
sebuah rumah makan di Kota Padang, sedangkan istrinya hanya ibu rumah tangga.
Semenjak
lahir hingga sekarang, tangan dan kaki anak malang itu tidak bisa digerakan.
Bahkan saat ini tidak boleh digendong, karena bisa berakibat patahnya tulang.
Boleh dikatakan tulang sebagian besar tulang anak itu telah keropos dan akan
mudah patah jika berbenturan dengan sesuatu benda.
“Sebelumnya
anak saya sudah berobat di dokter spesialis anak dan di Rumah Sakit Ibnu Sina
Kota Payakumbuh. Tapi kata dokternya, anak saya tidak apa-apa. Karena merasa
tidak yakin dengan kondisi kesehatan anak saya, akhirnya saya bawa ke RSUP M
Djamil Padang. Di rumah sakit inilah baru diketahui bahwa anak saya itu
menderita penyakit kelainan pada tulang,” ujar Fadli kepada Haluan di RSUP M Djamil Padang, Selasa
(4/10).
Menurut
Fadli, sebelum di bawa ke RSUP M Djamil Padang, Ia mengaku sering menggendong
anak bungsu dari dua bersaudara itu, karena belum mengetahui penyakit yang diderita
anaknya. Tapi saat ini, Ia tidak berani lagi menggendong anaknya, takut akan
mengalami patah tulang.
“Waktu
istri saya hamil, tidak merasakan hal-hal yang aneh. Anak saya yang pertama
juga normal. Mungkin karena anak kedua saya ini lahir melalui operasi, sehingga
banyak resiko yang dihadapi. Saat ini saya tidak tahu lagi mau mencari uang
kemana. Mudah-mudahan ada donatur yang mau membantu,” harap Fadli.
Sementara
itu, Konsultan Endokrinologi Anak RSUP M Djamil Padang, Eka Agustia Rini,
selaku dokter yang menangani pasien menyebutkan, penyakit yang diderita anak
itu merupakan kelainan bawaan semenjak lahir yang mengenai tulang. Jika anak
normal memiliki tulang yang padat, namun kelainan ini justru mengalami
sebaliknya.
“Penyakit
ini memang jarang dialami, dan hingga saat ini baru dua pasien yang saya
tangani seperti ini. Terakhir juga ada pasien sama di RSUP M Djamil beberapa
bulan lalu. Namun saat ini pasien itu jarang ke rumah sakit, padahal ia harus
berobat secara rutin,” ujar Eka Agustia Rini.
Eka
menjelaskan, kondisi pasien Aska masih sangat memprihatinkan. Tapi untuk
mendiagnosa penyakit ini, dibutuhkan pemeriksaan khusus melalui alat Bexa,
suatu alat yang dapat menilai kepadatan suatu tulang. Namun alat itu hanya
tersedia di Jakarta, sehingga belum dilakukan pada pasien.
“Untuk
pemeriksaan Bexa memang membutuhkan biaya yang sangat mahal sekali. Jika tidak
dilakukan dengan alasan biaya, maka akan sulit menentukan keberhasilan dalam
pengobatan penyakit ini. Jika keluarga pasien mau, maka bayi dan ibunya akan
dibawa ke Jakarta,” jelas Eka.
Terkait
dengan obat cair dalam terapi pamidronat, Eka mengaku bahwa obat tersebut belum
tersedia di RSUP M Djamil Padang, dan obat tersebut tidak bisa digunakan dengan
mengandalkan Jamkesda, Jamkesmas atau jaminan lainnya.
“Obatnya
ada di Jakarta, tapi setelah dipesan dari luar negeri. Dengan arti kata, obat
itu hanya ada di luar negeri, tapi melalui Asosiasi Anak, obat itu bisa
dipesan, lalu setelah sampai ke Jakarta baru dikirim lagi ke daerah tempat
pasien dirawat,” tambah Eka. (h/wan)
Sumber berita : www.harianhaluan.com
No comments:
Post a Comment